
Penalombok- Mataram;Membaca adalah pintu gerbang emansipasi. Ketika masyarakat melek literasi, mereka mampu mengidentifikasi ketidakadilan, merumuskan kritik, dan menuntut perubahan. Inilah yang ditakuti oleh rezim otoriter: masyarakat yang sadar akan haknya tidak mudah dikendalikan oleh narasi sepihak.
“Pemerintah mana pun yang takut dengan masyarakat yang kritis, berpikir mandiri, dan aktif berdiskusi adalah pemerintah yang rapuh.” Ungkap presiden mahasiswa Politeknik Medica Farma Husada Mataram, Muamal Farizal.
Lanjut Muamal, Pelarangan lapak baca, pembubaran diskusi publik, atau kriminalisasi aksi damai bukanlah sekadar tindakan represif, melainkan upaya sistematis untuk membungkam nalar kritis rakyat.
Dalam konteks ini, membaca menjadi tindakan subversif, sebuah perlawanan diam-diam terhadap hegemoni kekuasaan yang ingin mempertahankan kebodohan sebagai alat kontrol.
Pembubaran lapak baca atau ruang diskusi publik adalah bentuk anti-intelektualisme yang berbahaya. Dalam 1984, George Orwell menggambarkan bagaimana rezim totaliter menghancurkan buku dan menciptakan “Newspeak” untuk memiskinkan bahasa, sehingga masyarakat kehilangan kemampuan berpikir kompleks.Ketika akses terhadap literatur dibatasi, ruang untuk mempertanyakan kebijakan negara menyempit. Pemerintah yang membungkam lapak baca pada dasarnya sedang memproduksi “kebodohan terorganisir” agar warga tidak mampu membedakan fakta dari propaganda.
“Di Indonesia, misalnya, pembredelan buku-buku kritis era Orde Baru (seperti karya Pramoedya Ananta Toer) adalah bukti historis bagaimana literasi dianggap ancaman. Dalam novel Rumah Kaca (1988), Pramoedya menggambarkan bagaimana kolonialisme Belanda-diteruskan rezim otoriter-menggunakan sensor untuk melanggengkan kekuasaan. Mengapa pemerintah takut pada masyarakat yang membaca? Karena buku-buku, diskusi, dan aksi damai adalah alat untuk membangun kesadaran kolektif. Jika masyarakat kritis, mereka akan menolak narasi penguasa yang manipulatif, Membaca adalah cara untuk membongkar narasi sepihak negara.” Kritiknya tajam.
Kami percaya bahwa ide-ide yang dibungkam justru akan hidup lebih subur dalam ingatan kolektif. Membaca bukan hanya hak, tetapi kewajiban- bagaimana mungkin kita mengklaim diri merdeka jika pikiran masih dijajah oleh ketakutan dan kebisuan?,Tambahnya.
Rezim yang takut pada buku adalah rezim yang takut pada rakyatnya sendiri. Membaca adalah senjata paling ampuh untuk mnelawan kedunguan politik. Seperti kata Alberto Manguel, “Masyarakat yang membakar buku, pada akhirnya akan membakar manusia.” Mari jaga api literasi tetap menyala- sebab selama ada yang membaca, harapan untuk perubahan tak akan pernah padam. Tutupnya.***