
Opini, Penalombok -Visi besar Bupati Lombok Timur untuk mewujudkan Lotim SMART. SMART merupakan singkatan dari kata; Sejahtera, Maju, Adil, Religius, dan Transparan. Kata-kata ini menjadi arah kebijakan pembangunan daerah lima tahun ke depan. Namun, kata “sejahtera” yang ditempatkan di posisi pertama, justru menjadi tolok ukur utama yang perlu dikaji secara kritis. Dalam tulisan ini, saya ingin mengupas secara realistis dan terukur: apakah benar Lombok Timur bisa mencapai kondisi yang disebut sejahtera? Kesejahteraan bukan sekadar jargon, melainkan kondisi nyata yang ditandai dengan terpenuhinya hak dasar masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, pendapatan yang layak, perumahan, lingkungan yang sehat, dan jaminan sosial. Tanpa itu semua, visi lainnya akan kehilangan makna substantif. Sesuai dengan Indikator kesejahteraan dapat mencakup berbagai aspek, seperti:
Pendapatan, Kesehatan, Pendidikan, Ketenagakerjaan, Konsumsi, Perumahan, Lingkungan, Kemiskinan, Kependudukan, jaminan Sosial.
Untuk menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan tercapainya kesejahteraan di Lombok Timur, kita perlu merujuk pada data objektif tentang permasalahan dan kondisi struktural daerah. Berdasarkan data BPS Provinsi NTB (2024), jumlah penduduk miskin di NTB mencapai 709,01 ribu jiwa, dan Lombok Timur menyumbang angka tertinggi yaitu 185,03 ribu jiwa. Ini berarti hampir seperempat dari total penduduk miskin di provinsi ini berada di Lombok Timur. Secara nasional, angka ini memang hanya 0,73% dari total penduduk miskin Indonesia, namun secara regional menunjukkan tantangan besar yang harus ditangani secara serius.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Lombok Timur tahun 2023 juga mencerminkan permasalahan serius. Dengan nilai hanya 68,41, kualitas pendidikan,kesehatan, dan pengeluaran per kapita masyarakat masih rendah dibandingkan daerah lain di NTB maupun tingkat nasional. Ini menunjukkan bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan belum menyentuh aspek-aspek fundamental pembangunan manusia.
Secara struktural, sejumlah tantangan nyata masih membayangi, antara lain: kemiskinan struktural yang turun-temurun, kualitas pendidikan yang rendah, tingkat pengangguran terselubung, serta lemahnya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.
Dalam perspektif teori pembangunan, Rostow (1960) melalui Teori Modernisasi menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat dicapai melalui tahapan industrialisasi, pendidikan modern, dan efisiensi birokrasi. Sayangnya, banyak desa di Lombok Timur bahkan belum memiliki akses infrastruktur dasar seperti jalan dan internet, sehingga tahap awal menuju modernisasi pun belum maksimal.
Sementara itu, Teori Ketergantungan dari Andre Gunder Frank (1969) menjelaskan bahwa daerah seperti Lombok Timur seringkali terjebak dalam ketergantungan terhadap pusat. Ketika kebijakan fiskal dan investasi masih tersentralisasi tanpa penguatan ekonomi lokal, daerah sulit untuk tumbuh secara mandiri.
Dalam konteks kebijakan sosial, Wilensky dan Lebeaux (1958) menggarisbawahi pentingnya pendekatan institusional dalam kesejahteraan. Jika Lombok Timur hanya mengandalkan program bantuan bersifat sementara (residual), maka keadilan sosial dan kesejahteraan jangka panjang tidak akan tercapai secara menyeluruh.
Oleh karena itu, perlu strategi komprehensif untuk menjawab permasalahan ini:
- Kemiskinan struktural dapat dikurangi melalui hilirisasi sektor pertanian, penguatan UMKM berbasis agro, dan akses pembiayaan mikro.
- Pendidikan perlu ditingkatkan dengan insentif untuk guru di daerah terpencil, digitalisasi sekolah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.
- Pengangguran terselubung harus diatasi dengan pelatihan vokasional berbasis kompetensi, sinkronisasi kurikulum dan pasar kerja, serta kemitraan lintas sector.
- Tata kelola pemerintahan dapat diperbaiki dengan sistem e-budgeting, musrenbang daring, dan pelibatan masyarakat sipil dalam pengambilan keputusan.
Jika indikator kesejahteraan di Lombok Timur masih menunjukkan stagnasi atau bahkan kemunduran, maka visi Lotim SMART harus direfleksikan ulang, agar tidak berhenti sebagai slogan retoris. Namun, dengan adopsi kebijakan berbasis data, inklusif, dan berpihak pada keadilan sosial, visi tersebut bukanlah utopia.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi antara negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Sebagaimana ditegaskan oleh Anthony Giddens (1998) dalam Third Way Politics, kesejahteraan hanya akan terwujud jika negara tidak hanya berperan sebagai pengatur, tetapi juga sebagai fasilitator dalam memberdayakan masyarakat. Maka, menjawab pertanyaan di awal tulisan ini: Mungkinkah Lombok Timur akan sejahtera? Jawabannya: mungkin, asalkan ada keberanian untuk berubah secara sistemik dan kolektif.
Oleh: Karomi
Penulis merupakan dosen di Universitas Gunung Rinjani
Menarik.