
Opini – Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh International yang kemudian dikenal dengan istilah May Day, sebagai bentuk penghormatan terhadap perjuangan para pekerja di seluruh dunia dalam menuntut hak-haknya. Di Indonesia, sejak tahun 2013 lalu, di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, peringatan Hari Buruh International tersebut bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Namun di tengah gegap gempita perayaan tersebut, muncul pertanyaan baru: bagaimana nasib buruh ketika teknologi semakin mendominasi lini produksi? Di era digitalisai dan kecerdasan buatan (AI), dimana peran mesin perlahan mengambil alih tugas-tugas yang dulunya menjadi ranah eksklusif manusia yang hanya bisa dikerjakan oleh tenaga manusia. Di satu sisi, tuntutan efisiensi meningkat drastis, pemangkasan tenaga kerja di sana sini untuk mensiasati tuntutan efisiensi tersebut; di sisi lain, kita dihadapkan dengan tantangan lain dimana jutaan buruh terancam kehilangan pekerjaan. Sehingga hari ini, di era digital ini, peringatan Hari Buruh diharapkan tak lagi hanya sekedar berbicara tentang upah dan jam kerja sebagaimana yang sudah sudah, tapi juga tentang bagaimana kita menata ulang relasi antara manusia dan mesin dalam dunia kerja yang terus berubah.
Disrupsi Teknologi Dalam Dunia Kerja
Derasnya arus disrupsi akibat perkembangan teknologi sudah tidak terbendung, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kemajuan teknologi membawa transformasi besar dalam dunia kerja. Inovasi dalam dunia kerja berupa Digitalisai, Robotika, maupun Artificial Intelegency (AI) atau kecerdasan buatan memungkinkan perusahaan untuk memproduksi lebih cepat, lebih murah, lebih mudah dan dengan tingkat kesalahan yang lebih rendah. Dalam dunia kerja tentu hal tersebut sangat menguntungkan bagi perusahaan. Namun di sisi lain, inovasi akibat kemajuan teknologi tersebut sering kali datang dengan harga mahal bagi para buruh, terutama mereka yang berada di sektor manufaktur, logistik, dan layanan dasar.
Pekerjaan yang bersifat repetitif dan tidak membutuhkan banyak analisis kritis menjadi yang paling rentan tergantikan oleh mesin. Di berbagai negara, pabrik-pabrik mulai beralih ke sistem digitalisai otomatis, mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Fenomena ini tidak hanya memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang kemudian berakibat kepada bertambahnya angka pengangguran, tetapi juga menciptakan ketimpangan baru antara pekerja yang mampu beradaptasi dengan teknologi dan mereka yang tertinggal.
Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, transisi menuju industri berbasis teknologi tidak selalu berjalan seimbang. Ketika perusahaan-perusahaan mulai mengadopsi mesin pintar dan perangkat lunak canggih, jutaan buruh yang belum memiliki keterampilan digital atau pendidikan tinggi secara otomatis akan tertinggal. Hal ini yang kemudian mengakibatkan terciptanya apa diistilahkan sebagai skills gap atau jurang keterampilan yang semakin melebar, mempersulit peluang mereka untuk tetap relevan di dunia kerja.
Selain itu, tidak semua sektor mendapatkan manfaat yang merata dari kemajuan teknologi. Misalnya, sektor informal dan pekerja harian lepas sering kali luput dari perhatian dalam hal peningkatan sumber daya manusia ataupun dalam hal perlindungan sosial. Akibatnya, banyak buruh yang tidak hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga tidak memiliki jaring pengaman ketika proses digitalisasi terjadi secara menyeluruh dan tiba-tiba.
Situasi ini kemudian menimbulkan fenomena yang ironis, teknologi yang seharusnya menjadi alat pembebasan justru dapat menjadi alat penindasan baru jika tidak diiringi regulasi yang adil dan partisipasi buruh dalam proses perumusan kebijakan. Pekerja yang tersisa pun menghadapi tekanan baru: target yang lebih tinggi, pengawasan berbasis algoritma, dan lingkungan kerja yang semakin individualistic karena adanya standar baru akibat dari penyesuaian dari proses digitalisasi tersebut.
Strategi Adaptasi Buruh terhadap Teknologi
Di tengah gelombang perubahan yang tak terhindarkan, buruh tidak bisa hanya menjadi korban perkembangan zaman. Justru inilah saatnya memperkuat daya saing melalui peningkatan keterampilan dan pembelajaran berkelanjutan. Strategi adaptasi harus dimulai dari pengakuan bahwa dunia kerja hari ini menuntut kemampuan baru—tidak hanya fisik, tetapi juga digital, analitis, dan kolaboratif.
Salah satu langkah kunci adalah pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling). Pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja perlu membangun ekosistem pelatihan yang mudah diakses, terjangkau, dan relevan dengan kebutuhan industri masa depan. Program-program ini harus mencakup literasi digital, pengoperasian perangkat otomatis, hingga kemampuan berpikir kritis yang tidak bisa digantikan oleh mesin.
Selain pelatihan teknis, penting pula mendorong partisipasi buruh dalam proses perencanaan teknologi di tempat kerja. Serikat buruh bisa menjadi jembatan antara manajemen dan pekerja dalam memastikan bahwa transformasi digital tidak berjalan secara sepihak. Keterlibatan ini akan menciptakan transisi yang lebih manusiawi dan adil, di mana teknologi benar-benar menjadi alat pemberdayaan, bukan penghapusan.
Tidak kalah penting, buruh juga perlu mengembangkan jaringan solidaritas digital—menggunakan platform teknologi untuk memperkuat suara kolektif, mengadvokasi hak, dan berbagi informasi seputar peluang serta tantangan kerja di era baru.
Menuju Masa Depan yang Inklusif
Hari Buruh bukan hanya momentum untuk mengenang sejarah perjuangan pekerja, tetapi juga saat yang tepat untuk menatap masa depan dunia kerja dengan jernih. Teknologi memang mengubah banyak hal, namun perubahan tidak selalu harus berarti penghapusan peran manusia. Sebaliknya, dengan strategi yang tepat, teknologi dapat menjadi alat yang memperkuat martabat kerja dan memperluas peluang bagi semua kalangan.
Agar hal itu terwujud, dibutuhkan kolaborasi nyata antara pemerintah, pelaku industri, dan buruh sendiri. Pendidikan yang adaptif, kebijakan yang berpihak, serta komitmen kolektif akan menjadi kunci menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berkelanjutan. Di tengah arus disrupsi akibat digitalisasi, buruh harus tetap menjadi subjek pembangunan—bukan sekadar korban dari kemajuan yang tidak merata.
Karena pada akhirnya, mesin mungkin bisa menggantikan tangan, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan hati, solidaritas, dan nilai kemanusiaan yang menjadi inti dari dunia kerja.
Selamat Hari Buruh…
Ditulis Oleh: Saiful Bahri (Anggota DPRD Fraksi PPP Kabupaten Lombok Timur)