
Opini | Baru-baru ini mutasi pejabat utama pemprov NTB berlangsung. Namun muncul beragam tanggapan dan kritik. Tapi sebagai negara dengan sistem demokrasi tanggapan dan kritik sesuatu yang lumrah.
Mutasi sesungguhnya hal biasa dalam dinamika birokrasi. Setiap pemimpin baru di harapkan mampu mendrive kekuasaannya secara efektif. Mutasi hanya metode untuk melakukan akselerasi menjawab visi-misi pemimpin. Mutasi hanya rotasi ‘tour of duty’.
Menggeser pejabat pratama bukan hal “wow” dalam sebuah birokrasi. Tapi banyak orang menilai dan menanggapi dengan serius. Padahal merotasi jabatan kebutuhan kepemimpinan.
Sejak dilantik menjadi Gubernur NTB banyak pihak menilai Gubernur baru dengan gegap gempita dan sorak sorai. Juga dengan sikap sinis dan meragukan kapasitasnya. Feneomena itu sesuatu yang biasa dalam dunia politik. Tidak semua orang suka juga tidak semua orang tidak suka. Sebab pemimpin juga tidak sempurna.
Di balik sorot matanya yang penuh visi memajukan NTB terselip godaan besar: hasrat untuk “menyapu bersih” pejabat lama dan menempatkan para sekutu setianya. Ini seperti seorang dalang baru yang ingin mengganti semua wayang dengan tokoh ciptaannya sendiri. Tapi, tunggu dulu! Hasrat itu bukan hal mudah, di Indonesia, ada aturan yang menahan sang pemimpin dari aksi “ganti-ganti” ini. Aturan itu, bagaikan angin sepoi yang menjaga layang-layang tetap melayang, memastikan birokrasi tak berubah menjadi drama politik yang licin seperti sabun.
Pada tahun 2016, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) mengeluarkan kebijakan melalui Surat Edaran yang merujuk pada UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal 162 ayat (3) undang-undang ini tegas menyatakan: “Gubernur, Bupati, atau Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat dalam jangka waktu enam bulan terhitung sejak tanggal pelantikan.” Aturan ini masih berlaku hingga kini, bagaikan pagar bambu yang melindungi stabilitas birokrasi dari angin kencang politik pasca-pelantikan.
Tak hanya itu, UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), yang kini telah diperbarui oleh UU No. 20/2023, memberikan lapisan perlindungan tambahan untuk pejabat pimpinan tinggi (PPT). Dalam semangat reformasi birokrasi yang lebih adaptif, UU terbaru ini tetap menegaskan bahwa PPT tak boleh diganti selama dua tahun sejak dilantik, kecuali jika mereka melanggar perundang-undangan atau tak lagi memenuhi syarat jabatan. Ini seperti memberi pejabat sebuah “imunitas jabatan” sementara, memastikan mereka bisa bekerja tanpa bayang-bayang mutasi dadakan.
Tujuannya luhur: menjaga roda pemerintahan tetap berputar dan melindungi karier ASN dari badai politik yang kerap mengguncang setiap kali pemimpin baru naik tahta.
Namun, seperti kopi yang terlalu lama diseduh, aturan ini tak selalu terasa nikmat bagi semua pihak. Banyak pemimpin mengeluh, merasa tangan mereka terikat seperti nelayan yang tak boleh menarik jaringnya. Menanggapi keluh kesah ini, pada 2023, Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas mengeluarkan Surat Edaran No. 19/2023. Meski bukan peraturan formal, surat ini menjadi panduan normatif yang membuka sedikit ruang gerak. Aturan ini memungkinkan mutasi pejabat pimpinan tinggi yang belum genap dua tahun, asalkan didasari pertimbangan matang, seperti kebutuhan percepatan kinerja atau pembangunan nasional. Ini seperti membiarkan sang nelayan menarik jaring, tapi dengan pengawasan ketat agar tak menangkap ikan yang salah.
Harmoni atau Kekakuan?
Di balik aturan ini, ada pertanyaan besar yang menggelitik: apakah larangan mutasi ini benar-benar menciptakan harmoni birokrasi, atau justru menjadi tali yang membelenggu inovasi? Di satu sisi, UU No. 8/2015 dan UU No. 20/2023 melindungi ASN dari permainan politik yang sering kali lebih mirip sandiwara daripada tata kelola pemerintahan. Bayangkan jika setiap pemimpin baru bisa seenaknya mengganti pejabat seperti anak kecil yang menyusun ulang mainan congklak. Pemerintahan bisa jadi kacau, karier ASN terancam, dan rakyat hanya akan mendapat drama tanpa hasil.
Di sisi lain, pemimpin baru dilantik sering kali datang dengan visi megah dan tim impian mereka sendiri. Larangan ini bisa terasa seperti memaksa mereka berjalan dengan sepatu yang kekecilan. Menteri Anas, dengan kebijaksanaannya, mencoba menjembatani dua dunia ini melalui Surat Edaran 2023, yang selaras dengan semangat UU No. 20/2023 untuk birokrasi yang lebih fleksibel dan adaptif. Namun, kelenturan ini juga membawa risiko: tanpa pengawasan ketat, mutasi bisa menjadi alat politik untuk membalas dendam atau membangun istana baru.
Seorang pengamat bijak mungkin akan tersenyum kecil melihat dinamika ini, mengingat sesenggak Sasak yang berbunyi: “Bau nyale lebé tebekang, bau kuah lebé temerarang.” (Bau nyale lebih baik diikat, bau kuah lebih baik dituang.) Maknanya, segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya agar tak menimbulkan kekacauan. Birokrasi, seperti tarian tradisional, membutuhkan keseimbangan antara langkah yang teratur dan ruang untuk improvisasi. Aturan enam bulan dan dua tahun itu adalah irama dasar yang menjaga ritme, tapi tanpa sentuhan kreativitas dari pemimpin, tarian itu bisa jadi kaku. Kuncinya, barangkali, ada pada niat. Jika mutasi dilakukan demi kepentingan rakyat dan bukan untuk memoles ego politik, maka aturan ini bukanlah sabun licin yang membuat semua orang terpeleset, melainkan benang halus yang menjahit harmoni.
Di NTB, sang pemimpin akhirnya memilih untuk bersabar, belajar memahami pejabat yang ada, dan menabur benih visi baru tanpa harus mencabut akar lama. Mungkin, dengan sedikit kesabaran dan banyak kebijaksanaan, ia akan menemukan bahwa harmoni birokrasi bukanlah mimpi, melainkan tarian yang bisa dipelajari bersama. Dan rakyat NTB? Mereka hanya ingin pemerintahan yang berjalan mulus, tanpa drama mutasi yang melelahkan. Bukankah itu yang kita semua inginkan?””
Penulis: Samsul Hasan Basri (SHB) Kaule Segare.