
Penalombok | Opini: Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, sebuah momen bersejarah yang menandai lahirnya dasar negara kita. Pancasila, yang dirumuskan pada tahun 1945 oleh para pendiri bangsa, bukan sekadar ideologi atau dokumen formal, melainkan jiwa yang menyatukan keberagaman Indonesia. Dalam konteks kekinian, refleksi Hari Lahir Pancasila mengajak kita untuk merenung: bagaimana kita mewujudkan Indonesia yang kaffah—utuh, menyeluruh, dan benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur Pancasila di setiap aspek kehidupan?
Pancasila: Fondasi Kebersamaan dalam Keberagaman
Pancasila lahir dari perenungan mendalam para pendiri bangsa, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, dan anggota BPUPKI lainnya, yang memahami bahwa Indonesia adalah mozaik budaya, agama, dan suku. Dengan sila-sila seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, hingga Persatuan Indonesia, Pancasila dirancang untuk menjadi perekat yang menjaga harmoni di tengah pluralitas. Namun, menjadi Indonesia yang kaffah berarti tidak hanya memahami Pancasila secara tekstual, tetapi juga mengamalkannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Refleksi Hari Lahir Pancasila mengingatkan kita bahwa tantangan zaman terus berubah. Di era globalisasi, digitalisasi, dan arus informasi yang begitu cepat, nilai-nilai Pancasila diuji oleh polarisasi, intoleransi, dan egoisme kelompok. Bagaimana kita bisa menjaga persatuan ketika perbedaan pendapat sering kali memicu konflik? Bagaimana kita memastikan keadilan sosial di tengah kesenjangan ekonomi yang masih nyata? Inilah saatnya kita menjadikan Pancasila bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai panduan hidup.
Menjadi Indonesia yang Kaffah
Menjadi Indonesia yang kaffah berarti menghidupkan Pancasila secara utuh dalam tiga dimensi utama: individu, masyarakat, dan negara.
Pertama; Individu: Menanamkan Nilai Pancasila dalam Diri Setiap warga negara diajak untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam sikap dan tindakan sehari-hari. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, mengajarkan pentingnya menjalankan nilai-nilai agama dengan penuh toleransi, bukan dengan memaksakan keyakinan. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menuntut kita untuk menghormati harkat dan martabat setiap individu, tanpa memandang latar belakang suku, agama, atau status sosial. Dengan kata lain, menjadi Indonesia yang kaffah dimulai dari kesadaran pribadi untuk hidup bermoral dan beretika sesuai nilai-nilai Pancasila.
Kedua, Masyarakat: Membangun Harmoni dalam Keberagaman Di tingkat masyarakat, Pancasila mengajarkan pentingnya gotong royong dan musyawarah. Persatuan Indonesia (sila ketiga) bukanlah sekadar jargon, tetapi panggilan untuk menjaga kebersamaan di tengah perbedaan. Di era media sosial, misalnya, kita sering melihat narasi yang memecah belah, seperti ujaran kebencian atau hoaks. Menjadi masyarakat yang kaffah berarti mempromosikan dialog yang inklusif, menghormati perbedaan, dan bersama-sama melawan narasi yang merusak kebersamaan. Kegiatan seperti kerja bakti, musyawarah desa, atau kolaborasi lintas komunitas adalah wujud nyata dari semangat Pancasila.
Keempat, Negara: Mewujudkan Keadilan Sosial Di tingkat negara, Pancasila menuntut pemerintahan yang adil dan berpihak pada rakyat. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menegaskan bahwa negara harus hadir untuk mengurangi kesenjangan, memastikan akses pendidikan dan kesehatan yang merata, serta melindungi kelompok-kelompok marginal. Refleksi Hari Lahir Pancasila menjadi pengingat bagi para pemangku kebijakan untuk mengevaluasi sejauh mana program-program negara telah mencerminkan semangat keadilan sosial. Indonesia yang kaffah adalah negara yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga adil dalam membagi kesejahteraan.
Tantangan dan Harapan
Hari Lahir Pancasila bukan sekadar peringatan seremonial, tetapi panggilan untuk aksi. Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menjaga relevansi Pancasila di tengah perubahan zaman. Generasi muda, misalnya, perlu diajak untuk memahami Pancasila tidak hanya sebagai warisan sejarah, tetapi sebagai solusi atas masalah kontemporer seperti korupsi, ketimpangan sosial, dan ancaman perpecahan. Pendidikan Pancasila harus lebih hidup, tidak hanya melalui hafalan, tetapi melalui diskusi, praktik, dan contoh nyata.
Di sisi lain, harapan besar ada pada semangat kebersamaan yang masih kuat di masyarakat Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, kita melihat banyak inisiatif lokal yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, seperti komunitas yang membantu korban bencana, kelompok pemuda yang mengedukasi masyarakat tentang toleransi, hingga gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan. Ini adalah bukti bahwa Pancasila bukanlah ide usang, melainkan nilai hidup yang relevan sepanjang masa.
Menjadi Indonesia yang kaffah adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen dari setiap elemen bangsa. Hari Lahir Pancasila adalah momen untuk merenung, mengevaluasi, dan memperbarui tekad kita untuk menghidupkan nilai-nilai luhur Pancasila. Mari kita jadikan Pancasila sebagai lentera yang menerangi langkah kita menuju Indonesia yang lebih adil, harmonis, dan sejahtera. Dengan semangat gotong royong dan musyawarah, kita wujudkan Indonesia yang kaffah—utuh dalam persatuan, menyeluruh dalam keadilan, dan kokoh dalam kebersamaan.
Selamat Hari Lahir Pancasila! Mari kita jadikan momentum ini untuk bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik, sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.***
Ditulis oleh:
Mastur, S. Psi., M.A
Anggota KPU NTB