
Penalombok| Lombok Timur; Gema perlindungan anak terdengar nyaring di ruang-ruang formal di kabupaten Lombok Timur, dalam pidato-pidato pejabat, dan di baliho program-program pemerintah. Namun, ketika gema itu ditelusuri ke akar realitas, yang terdengar hanyalah hening. Tidak ada denyut nyata dari komitmen yang selama ini dinarasikan. Apa yang terjadi di lapangan tak lebih dari bayangan buram dari janji-janji manis yang sering diucapkan.
Anak-anak kita tumbuh di tengah lingkungan yang tidak ramah. Taman-taman kota, yang semestinya menjadi ruang mereka bermain dan belajar, menjelma menjadi area yang rusak, tidak aman, dan bahkan berbahaya. Fasilitas bermain patah dan berkarat, lampu-lampu taman padam, dan lokasi ruang publik dikepung aktivitas dewasa yang seharusnya jauh dari jangkauan anak-anak. Ini bukan sekadar kelalaian—ini bentuk kekerasan sistemik yang telah dilegalkan melalui pembiaran.
Indonesia seharusnya berdiri di garis depan dalam perlindungan anak. Konvensi Hak Anak (CRC) yang diratifikasi lewat Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 menegaskan bahwa “kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama dalam semua tindakan.” Tapi bagaimana dengan Lombok Timur?
UNICEF, dalam konsep Child Friendly Cities, menetapkan tiga syarat dasar: ruang terbuka hijau yang inklusif, akses layanan pendidikan dan kesehatan yang mudah, serta partisipasi anak dalam kebijakan publik. Ketiganya belum nyata di kabupaten ini. Sebaliknya, anak-anak menghadapi ruang publik yang berbahaya, fasilitas layanan dasar yang terbatas, dan ketiadaan kanal formal untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Secara hukum, perlindungan anak adalah kewajiban negara yang tak bisa ditawar. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 dan turunannya mempertegas hal ini. Konstitusi bahkan menyematkan hak hidup, tumbuh, dan berkembang sebagai hak asasi anak.
Namun, bagaimana pelaksanaannya di Lombok Timur? Forum anak belum berfungsi optimal, rumah aman nyaris tak terdengar gaungnya, dan sistem pelaporan kekerasan terhadap anak masih lamban. Ketika anak-anak terlibat dalam perundungan, kekerasan domestik, hingga perdagangan manusia, respons yang diberikan canggung dan tidak terkoordinasi.
Lombok Timur sebetulnya telah memiliki Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2019 tentang Perlindungan Anak. Namun, perda ini nyaris tak tersentuh. Minimnya sosialisasi membuat aparat desa tidak sadar bahwa mereka punya perangkat hukum untuk bertindak. Tidak ada anggaran khusus yang digelontorkan, tidak ada sinergi lintas dinas yang terbentuk, bahkan tidak ada peta jalan implementasi.
Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa kasus kekerasan anak terus tinggi. Namun data ini seolah tak berujung pada aksi konkret. Di desa-desa, anak-anak masih bekerja di ladang, menjadi korban eksploitasi, bahkan tak jarang menjadi pengemis di jalan raya.
Taman kota bukan sekadar tempat bermain—ia adalah cermin dari peradaban. Sayangnya, cermin itu retak di Lombok Timur. Tak satu pun taman yang benar-benar memenuhi standar ruang publik ramah anak. Bahkan, banyak taman berada di dekat jalan raya padat atau bersebelahan dengan warung yang menjual rokok dan minuman keras.
Permen PPPA No. 11 Tahun 2011 telah menetapkan standar ruang publik ramah anak. Tapi lagi-lagi, standar hanya jadi dokumen, tidak jadi panduan pembangunan. Kita tidak bicara tentang idealisme, tapi tentang kebutuhan dasar anak yang diabaikan.
Sudah saatnya pemerintah berhenti bermain kata. Yang dibutuhkan sekarang bukan seminar atau baliho kampanye, melainkan tindakan konkret:
1. Audit Total Infrastruktur Anak
Audit ini merupakan langkah awal yang fundamental untuk memahami sejauh mana infrastruktur publik telah (atau belum) memenuhi kebutuhan anak. Pemerintah daerah harus melakukan pemetaan menyeluruh terhadap fasilitas publik seperti taman, sekolah, puskesmas, terminal, dan kantor pelayanan sosial yang digunakan oleh anak-anak.
Setiap fasilitas harus dinilai berdasarkan aspek keamanan, aksesibilitas, kelayakan, dan keberpihakan terhadap anak-anak, termasuk anak berkebutuhan khusus.
Hasil audit tidak boleh disimpan secara internal—harus diumumkan ke publik melalui media lokal dan digital agar masyarakat bisa ikut serta mengawasi dan mendorong tindak lanjut. Transparansi ini akan menciptakan tekanan moral dan sosial bagi pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat.
2. Anggaran Khusus Perlindungan Anak
Tidak ada tindakan tanpa alokasi. Perlindungan anak memerlukan anggaran khusus yang tidak boleh digabung dalam program kesejahteraan umum. Pemerintah Kabupaten Lombok Timur harus menetapkan pos APBD yang fokus untuk mendanai:
- Forum Anak sebagai ruang ekspresi dan aspirasi anak-anak.
- Rumah aman bagi korban kekerasan atau eksploitasi.
- Pelatihan aparat desa, guru, dan tenaga kesehatan agar sensitif terhadap isu kekerasan dan diskriminasi anak.
- Layanan konseling psikologis dan sosial di sekolah dan komunitas.
Anggaran ini juga harus dilengkapi dengan sistem pengawasan pelaksanaan dan pelaporan, agar tidak menjadi sekadar formalitas.
3. Ruang Terbuka Ramah Anak di Tiap Kecamatan
Setiap anak berhak memiliki ruang aman untuk bermain, berinteraksi, dan mengembangkan diri. Namun, taman-taman publik di Lombok Timur saat ini sering kali tidak memenuhi standar dasar:
permainan rusak, lokasi tidak aman, minim pengawasan, bahkan berdampingan dengan area berbahaya.
Mengacu pada Permen PUPR No. 2 Tahun 2015 tentang Bangunan Gedung Hijau, ruang terbuka ramah anak harus:
- Bebas dari polusi dan sampah,
- Memiliki fasilitas bermain yang aman, bersih, dan terawat,
- Aksesibel untuk anak-anak berkebutuhan khusus,
- Dilengkapi dengan pengawasan (CCTV/petugas),
- Terpisah dari zona dewasa (warung rokok, lalu lintas padat, dll).
Ini bukan soal estetika kota—ini soal hak hidup layak anak-anak.
4. Aktifkan Forum Anak Tingkat Desa dan Kecamatan
Partisipasi anak bukan pelengkap seremonial—itu hak mereka. Forum anak harus aktif di tiap desa dan kecamatan, difasilitasi oleh aparat desa dan Dinas PPPA. Anak-anak harus dilibatkan dalam Musrenbang, baik sebagai pengusul ide maupun pengawas pelaksanaan program yang berdampak pada mereka.
Forum ini menjadi wadah edukasi demokrasi sejak dini, sekaligus cara konkret memastikan suara anak tidak tenggelam dalam agenda-agenda orang dewasa. Pemimpin daerah harus hadir secara langsung dalam forum-forum ini untuk membangun dialog nyata dan menunjukkan keseriusan komitmen.
5. Kampanye Anti Kekerasan Berbasis Sekolah dan Keluarga
Perlindungan anak dimulai dari ruang paling dekat: rumah dan sekolah. Sayangnya, dua tempat ini justru sering menjadi lokasi kekerasan fisik, verbal, maupun psikologis.
Pemerintah daerah harus menggulirkan kampanye edukatif berbasis nilai lokal dan agama untuk membentuk budaya pengasuhan dan pendidikan yang sehat, empatik, dan inklusif. Kegiatan ini bisa berupa:
- Pelatihan parenting untuk orang tua dan guru,
- Program pencegahan perundungan (bullying) di sekolah,
- Sosialisasi hukum perlindungan anak secara berkala,
- Kegiatan kultural berbasis seni dan narasi lokal yang mengangkat nilai kasih sayang dan penghormatan terhadap anak.
Kelima langkah ini bukan sekadar rekomendasi teknis, tetapi fondasi sosial untuk masa depan generasi Lombok Timur. Tanpa audit, kita buta arah. Tanpa anggaran, semua gagasan tinggal di atas kertas. Tanpa taman, anak-anak kehilangan ruang. Tanpa forum, suara mereka hilang. Tanpa kampanye, kekerasan dianggap biasa.
Inilah saatnya pemerintah benar-benar hadir—bukan dalam baliho atau sambutan seremoni, tetapi dalam kehidupan nyata anak-anaknya.***
Oleh: Redaksi Penalombok.com