
Opini| Penalombok: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mendefinisikan pajak daerah sebagai kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, tanpa imbalan langsung, serta digunakan untuk keperluan daerah demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pembiayaan pembangunan daerah membutuhkan sumber pendapatan yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendapatan ini selanjutnya dialokasikan untuk mendukung program peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi. Pemerintah daerah berupaya memaksimalkan potensi pendapatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
PP Nomor 35 Tahun 2023 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), yang diatur secara teknis melalui peraturan daerah (Perda). PBB-P2 merupakan pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh orang pribadi maupun badan. “Bumi” meliputi permukaan tanah dan perairan pedalaman, sedangkan “bangunan” adalah konstruksi teknik yang ditanam atau didirikan secara tetap di atas atau di bawah permukaan tanah.
Tuntutan pembangunan yang semakin meningkat membuat pemerintah daerah berada dalam tekanan, terutama karena penurunan dana transfer dari pemerintah pusat akibat refocusing anggaran untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) serta pembayaran bunga dan pokok utang yang cukup besar. PBB-P2 menjadi salah satu instrumen penting peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap PBB-P2, sekaligus mengevaluasi pengelolaannya. Polemik muncul di masyarakat karena adanya kenaikan nominal pajak yang disebut mencapai ratusan hingga ribuan persen. Sekretaris Daerah Lombok Timur menjelaskan bahwa kenaikan tersebut bukan karena tarif baru, melainkan akibat penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang sudah 30 tahun tidak diperbarui. Rumus PBB adalah tarif dikalikan NJOP, kemudian dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Kurangnya sosialisasi menyebabkan masyarakat tidak memahami bahwa kenaikan PBB-P2 terjadi karena pembaruan NJOP. Wajib pajak menilai beban yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) terlalu tinggi, sehingga memicu penolakan. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lombok Timur menegaskan bahwa penyesuaian NJOP dilakukan berdasarkan instruksi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan tarif PBB di Lombok Timur termasuk salah satu yang terendah di Indonesia.
Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP, yang ditetapkan berdasarkan penilaian wajar. Persentase pengenaan PBB-P2 berkisar antara 20%–100% dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP, dengan mempertimbangkan kenaikan NJOP, bentuk pemanfaatan objek pajak, dan klasterisasi wilayah. Ketentuan ini memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menetapkan beban pajak lebih adil sesuai kondisi riil objek pajak. Misalnya, lahan yang berada di sekitar kawasan industri dengan NJOP tinggi tetapi tidak produktif, seharusnya dikenakan pajak lebih rendah.
Untuk mempercepat pengumpulan pajak, Pemkab Lombok Timur membentuk Tim Operasi Penagihan Pajak (Opjar) yang bertugas melakukan penagihan aktif sekaligus merapikan data pembayaran. Berdasarkan Perda Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pemerintah menurunkan tarif beberapa pajak. Tarif PBB-P2 tahun 2024 diturunkan dari 0,2% menjadi 0,19%, sedangkan untuk lahan produksi pangan dan peternakan turun dari 0,1% menjadi 0,08%. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga menurun dari 5% menjadi 4%.
Penolakan masyarakat tetap terjadi karena sosialisasi dan edukasi yang masih terbatas. Banyak wajib pajak merasa nilai NJOP tidak wajar, sehingga memandang penilaian pemerintah kurang adil. Pemerintah daerah diminta untuk turun langsung melakukan evaluasi ulang terhadap objek pajak serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya tenaga penilai pajak.
Upaya meningkatkan PAD dilakukan melalui pelibatan pemerintah desa. Desa mendapatkan alokasi 10% dari Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah (BHPRD) untuk mendukung pemungutan PBB-P2. Pemerintah juga menyediakan layanan pembayaran online melalui laman https://periri.lomboktimur.go.id, yang memungkinkan wajib pajak memeriksa tagihan dan melakukan pembayaran lebih mudah.
Realisasi PAD Lombok Timur tahun 2023 tercatat sebesar Rp383 miliar, naik menjadi Rp486 miliar pada 2024. Khusus penerimaan PBB-P2, tercatat Rp13 miliar pada 2023 dan Rp19 miliar pada 2024. Untuk tahun 2025, target PAD ditetapkan sebesar Rp521 miliar, dengan potensi PBB-P2 diproyeksikan mencapai Rp100 miliar. Besarnya target menuntut pemerintah memperkuat program intensifikasi, ekstensifikasi, serta meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak.
Kebijakan perpajakan yang adil, transparan, dan disertai sosialisasi yang memadai menjadi kunci keberhasilan pemerintah daerah dalam mengoptimalkan PAD. Langkah ini diharapkan mampu mendukung pembiayaan pembangunan menuju Kabupaten Lombok Timur yang SMART.
Ditulis oleh
Dr. Suparlan, SE., M.Sc.
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram, Email: suparlan23@staff.unram.ac.id)