
Penalombok| Opini: Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembagian urusan Pusat, Propinsi dan Kabupaten untuk bidang kelautan dan perikanan sudang sangat jelas dan tegas. Pada matrik pembagian urusan bidang kelautan dan perikanan dibagi menjadi 7 sub bagian urusan satunya adalah Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Pembagian urusan berkaitan dengan sub bidang ini hanya diurus oleh pusat dan propinsi sementara kabupaten tidak ada. Kewenangan pusat antara lain: Pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional; Penerbitan izin pemanfaatan ruang laut nasional; Penerbitan izin pemanfaatan jenis dan genetik (plasma nutfah) ikan antarnegara; Penetapan jenis ikan yang dilindungi dan diatur perdagangannya secara internasional; Penetapan Kawasan konservasi; dan Database pesisir dan pulau-pulau kecil. Sementara propinsi memiliki kewenangan antara lain: Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi; Penerbitan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi; dan Pemberdayaan Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Sementara kabupaten tidak memiliki kewenangan sama sekali terhadap pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Salah satu bentuk pemanfaatan ruang laut adalah pariwisata baik pariwisata Pantai maupun laut dengan segala destinasinya. Berdasarkan pembagian kewenangan yang ada maka untuk pemanfatannya diatur sepenuhnya oleh pemerintah propinsi dan pusat. Hal ini tentu menjadi problem ketika pemerintah daerah dalam hal ini kabupaten dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang kepariwisataan diberikan kewenangan untuk melakukan penataan destinasi wisata di daerah masing-masing.
Peristiwa “pegusiran” terhadap boatman (pelaku wisata) yang berasal dari Kabupaten Lombok Tengah oleh Bupati Lombok Timur di Teluk Ekas dapat dibaca dari beberapa perspektif. Pertama, perspektif normative, perspektif ini tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana kabupaten tidak memiliki kewenangan mengurus kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Ketentuan tersebut sebagaimana diataur dalam undang-undang bahwa yang menerbitan izin dan pemanfataan ruang laut adalah pemerintah pusat dan pemerintah propinsi.
Dengan demikian Tindakan bupati dalam konteks pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil mungkin kurang tepat. Kedua, perpektif melindungi kepentingan daerah dalam pemanfaatan ruang-ruang di wilayah kabupaten untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Untuk menjawab perspektif ini kita bisa telusuri dari Rencanan Tata Ruang dan Wilayah Daerah Kabupaten, apakah Ekas menjadi salah satu Lokasi destinasi wisata di Lombok timur. Lalu pertayaan selajutnya jika itu menjadi destiniasi wisata apakah Pantai dan luat di Teluk Ekas merupakan bagian dari destinasi yang di masuk dalam program pemerintah daerah kabupaten.
Berdasarkan kewenangan yang ada berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah bahwa kabupaten memiliki kewenangan untuk menarik pajak dari usaha hotel yang berada di wilayah pesisir pantai. Sehingga masuk akal kalua Bupati Lombok Timur berbicara soal tamu hotel yang menginap karena sumber pajak daerah salah satunya adalah dari pajak hotel dan restoran. Ketiga dalam perspektif kesatuan wilayah. Salah satu alasan kewenangan pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang semula berada di daerah kabupaten di Tarik ke propinsi adalah soal kesatuan wilayah.
Berdasarakan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah bahwa pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil di berikan kepada kabupaten. Dalam prakteknya kewenangan tersebut menuai masalah yaitu muncul ego daerah yang sangat mengkhawatirkan yaitu mengkapling-kapling daerah lautan berdasarkan wilayah kabuapten/kota. Hal ini berdampak buruk dalam pengelolaan laut di Indonesia karena klaim dari maisng-masing kabupaten. Bahkan sempat ramai soal penagkapan ikan oleh nelayan misalnya kabupaten A dalam satu propinsi tidak boleh melaut atau megakap ikan ke wilayah kabupaten B, sehingga ada usulan supaya ikan-ikan juga dibuatan kartu identias, ketika ikan yang mau ditangkap berenang ke wilayah kabupaten lainnya nelayan tidak salah tangkap karena ikan ada identitasnya. Dari atraksi tersebut menjadi alasan kuat bagi negara untuk menarik tersebut ke propinsi sesuai undang-uandang nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan UU 22 tahun 1999. Ketentuan tersebut diadospi juga oleh undang-undang nomor 23 Tahun 2014 dengan menerapkan otonomi matriil dimana kewenangan pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota dibagi secara rinci salah satunya dalam pengelolaan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil.
Penyelesaian soal Teluk Ekas menurut saya itu berada di dangan Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Harapannya penyelsainya dilakukan dengan cara-cara menerapkan budaya demokratis, dan humanis dan tidak dalam kapasitas saling menyalahkan. Agar tidak menjadi bola liar, langkah mempertemukan pengelolan wisata, pemerintah kabupaten dan Masyarakat penting dilakukan. Para pihak, baik bupati, tim sukses, masyarakat pendukung sebaiknya menghindari narasi-narasi rasis di media sosial maupun dimedia masa sehingga tidak memperkeruh situasi. Dalam situasi kekurangan anggaran yang dihadapi oleh kepala daerah untuk merealisasikan visi dan misi mereka menjadi tantangan tersendiri. Segala potensi daerah diupayakan untuk dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan pendapatan asli daerah. Psikologi ini mestinya juga difahami sebagai bentuk iktikad baik dari pemerintah daerah yang sedang berkuasa, namun disatu sisi juga harus disesuaikan dengan peraturan perudang-udangan yang ada.***