
Penalombok.com, Lombok Timur, NTB – Tiga tahun konflik antar pelaku wisata surfing di Teluk Ekas tak kunjung menemukan titik terang. Gesekan yang terjadi antara wisatawan dan pemandu lokal akibat perebutan ombak di wilayah Inside dan Outside Ekas kini mendorong masyarakat bersama Pemerintah Desa Ekas Buana untuk menyusun Peraturan Desa (Perdes) Wisata Bahari sebagai solusi berbasis lokal.
Dalam pertemuan yang digelar pada 5, 7, dan 8 Desember 2024, bertempat di Ombak Resort, Ekas Surf Resort, dan Panorama Cottages Ekas, hadir berbagai pihak terkait, di antaranya: Perwakilan investor pariwisata, komunitas Ekas Surf Club, Pemerintah Desa Ekas Buana, serta fasilitator kegiatan dari unsur independen. Forum tersebut membahas secara serius dampak konflik yang telah memicu kerugian ekonomi, ketegangan sosial, bahkan insiden fisik di laut.
“Konflik perebutan ombak ini terlihat sederhana, namun bagi para peselancar, ini adalah isu besar dalam industri pariwisata. Ketika dibiarkan, akan berdampak luas pada ekonomi lokal dan stabilitas sosial,” ujar salah satu perwakilan komunitas surfing lokal.
Sebelumnya, empat kali pertemuan, telah dilakukan sejak tahun 2023 bersama para pemangku kepentingan, dan terakhir pada 9 April 2025, berhasil disusun draft awal Perdes Wisata Bahari yang saat ini sedang dalam proses sinkronisasi dengan bagian hukum daerah. Tahapan berikutnya adalah konsultasi ke Biro Hukum Provinsi NTB, serta koordinasi dengan Dinas Pariwisata dan Dinas Kelautan terkait tata ruang wilayah laut dan kewenangan lintas sektor.
Yogi Islandta, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Lombok Timur, yang juga merupakan akademisi pariwisata dari Universitas Hamzanwadi, menegaskan pentingnya kehadiran regulasi yang berbasis pada kesepakatan lokal namun sah secara hukum.
Persoalan ini mencerminkan lemahnya kesiapan kebijakan daerah dalam mengelola wisata berbasis alam yang dinamis. Perdes harus disusun dengan partisipatif dan difasilitasi secara profesional hingga tuntas, ujarnya.
Selanjutnya Yogi menjelaskan “Kami melihat ini bukan semata soal ombak, tetapi soal siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang harus dilindungi. Oleh karena itu kami BPPD Lombok Timur siap mendorong harmonisasi antar pelaku dengan pendekatan kolaboratif”, jelasnya.
Adapun Isi Kesepakatan Awik-Awik Surfing Ekas atau hasil musyawarah selama tiga hari itu yang dapat dijadikan dasar dalam penyusunan Perdes, diantaranya:
1. Kapal yang membawa sekolah surfing (surf school) dan peselancar dari luar daerah (seperti dari Awang dan Kuta) wajib berlabuh di titik kumpul yang disepakati bersama.
2. Peselancar luar diwajibkan menggunakan jasa kapal dan kapten lokal dari Desa Ekas Buana.
3. Peselancar pemula (beginner) atau tamu yang menggunakan jasa pelatih surfing (surf instructor) diwajibkan memakai instruktur bersertifikat lokal dari Ekas Buana (Local Authority Surf Instructor).
4. Lokasi surfing beach break akan ditetapkan sebagaititik latihan utama bagi peselancar pemula dari luar daerah, untuk menjamin keamanan dan peningkatan pendapatan desa.
Meski kesepakatan ini menjadi langkah progresif, tantangan terbesar tetap terletak pada tindak lanjut dan komitmen lintas sektor.
Kalau tidak ada pendampingan berkelanjutan dan follow-up dari pemerintah, maka semuanya akan kembali mutar di tempat. Ini masalah kebijakan publik yang tidak boleh setengah-setengah, tegas fasilitator kegiatan.
Smentara itu Pemerintah Desa berharap, melalui regulasi ini, kawasan surfing Ekas dapat ditata dengan baik demi keberlangsungan ekonomi masyarakat, ketertiban wisata, dan promosi positif kawasan sebagai destinasi surfing kelas dunia.***