
Penalombok.com, opini–“Asal ada perempuan, kenapa semua cerita selalu menarik?” Ungkapan ini sering kali terdengar sebagai lelucon ringan, namun sejatinya menyimpan makna yang lebih dalam. Dalam berbagai bentuk narasi, baik sastra, film, cerita rakyat, hingga media sosial, tokoh perempuan sering kali menjadi pusat perhatian karena kehadiran mereka menambahkan lapisan emosional, konflik, dan dinamika yang memperkaya jalan cerita. Fenomena ini tidak muncul tanpa alasan; ia lahir dari kombinasi antara dimensi psikologis, kultural, dan sosial yang membentuk perempuan sebagai sosok yang menarik untuk diangkat dalam cerita.
Dalam kajian psikologi, salah satu penjelasan yang mendasari hal ini adalah tingkat kecerdasan emosional yang relatif lebih tinggi pada perempuan. Penelitian yang dilakukan Brackett dan Salovey (2006) menunjukkan bahwa perempuan lebih peka terhadap ekspresi emosi dan memiliki empati yang lebih kuat. Hal ini menjadikan tokoh perempuan dalam cerita cenderung tampil dengan kedalaman perasaan dan kompleksitas emosi yang menyentuh sisi kemanusiaan pembaca atau penonton. Maka tidak mengherankan apabila cerita dengan tokoh utama perempuan mampu menggugah simpati, bahkan empati audiens secara lebih intens.
Fenomena ini bukan hanya terlihat dalam karya-karya modern, tetapi juga tertanam kuat dalam cerita rakyat Indonesia. Tokoh seperti ibu Malin Kundang yang penuh kasih sayang dan pengorbanan, atau Roro Jonggrang yang cerdas dan berani, merupakan gambaran betapa perempuan mampu menjadi pusat konflik dan penyelesaian dalam sebuah narasi. Perempuan dalam cerita rakyat bukan sekadar pelengkap, tetapi memainkan peran aktif yang menggambarkan berbagai nilai budaya, moral, dan identitas kolektif masyarakat.
Di sisi lain, perempuan juga sering kali menjadi simbol dari pertarungan terhadap struktur sosial yang tidak adil. Dalam cerpen “Perempuan Itu Pernah Cantik” karya Mashdar Zaidal, digambarkan bagaimana tekanan sosial setelah pernikahan mengubah karakter seorang perempuan secara psikologis. Cerita ini mencerminkan bagaimana budaya patriarki menciptakan ketidakadilan yang membentuk narasi perempuan menjadi lebih kompleks dan menyentuh. Kajian ini didukung oleh artikel yang dipublikasikan di Nusantara Global Journal (2023), yang menyoroti representasi perempuan sebagai cermin dari realitas sosial.
Eti Nurhayati, seorang ahli psikologi perempuan, menegaskan dalam bukunya Psikologi Perempuan dalam Berbagai Perspektif bahwa perempuan menyimpan potensi besar yang kerap kali terhambat oleh norma dan struktur sosial yang mengekang. Potensi tersebut, ketika teraktualisasi, dapat membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial dan budaya. Maka, ketika perempuan digambarkan secara autentik dalam cerita, yang muncul bukan hanya tokoh fiksi, tetapi juga representasi dari kekuatan sosial yang selama ini tersembunyi (Nurhayati, 2022).
Perubahan representasi perempuan dalam media modern juga menunjukkan kemajuan. Dalam film dan serial televisi, tokoh perempuan kini digambarkan tidak hanya sebagai objek penderitaan, tetapi juga sebagai individu yang berpikir, memilih, dan berjuang. Tokoh dalam film seperti “Kartini”, atau karakter utama dalam serial “Layangan Putus”, misalnya, menggambarkan perempuan sebagai agen perubahan yang menolak tunduk pada sistem yang tidak adil. Mereka menghadirkan sisi realitas yang selama ini jarang disuarakan secara lantang.
Selain itu, teori psikologi naratif menyebut bahwa karakter yang kompleks dan rentan cenderung lebih menarik bagi audiens karena mereka memungkinkan pembaca atau penonton merasa terhubung secara emosional. Perempuan, dengan spektrum emosi yang luas dan kemampuan untuk menunjukkan berbagai sisi diri secara jujur, menjadi tokoh yang sangat efektif dalam membangun ikatan emosional ini. Oleh karena itu, banyak kisah yang terasa hidup justru karena narasinya dibangun melalui perjalanan emosional tokoh perempuan.
Namun, perlu diingat bahwa daya tarik perempuan dalam cerita tidak boleh berhenti pada aspek visual atau simbolis semata. Objektifikasi perempuan dalam cerita hanya akan mereduksi makna dan potensi naratif yang mereka miliki. Sebaliknya, perempuan harus diposisikan sebagai tokoh yang memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan, konflik batin, dan transformasi diri. Hal ini juga disuarakan oleh Dedi Suhendi dalam disertasinya di Universitas Gadjah Mada, yang menyebutkan bahwa perempuan dalam novel Indonesia kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan sosial dan agama, bukan sebagai individu merdeka yang utuh (UGM News, 2010).
Kekuatan cerita terletak bukan hanya pada alur atau konflik besar, tetapi pada cara tokohnya tumbuh, berubah, dan mencerminkan kenyataan. Perempuan dalam cerita menyuguhkan semua ini—mereka hadir sebagai makhluk emosional, rasional, spiritual, sekaligus sosial. Dalam kisah mereka, kita menemukan luka, harapan, pemberontakan, dan penyembuhan. Semua elemen ini membentuk narasi yang bukan hanya menarik, tapi juga bermakna.
Kehadiran perempuan dalam cerita membuat narasi lebih berlapis, jujur, dan mengena. Mereka bukan sekadar tokoh yang menarik perhatian, tetapi elemen penting yang membawa kedalaman, nilai, dan konflik kemanusiaan yang autentik. Maka, tak berlebihan jika dikatakan: asal ada perempuan, cerita selalu menjadi menarik—karena perempuan adalah jantung dari kisah-kisah terbaik yang pernah ditulis manusia.***
Oleh:
Karomi
Dosen Universitas Gunung Rinjani