
Penalombok | Opini: Musrenbang GEDSI yang dilakukan pemerintah Provinsi sebagai ikhtiar membangun NTB patut kita apresiasi sebagai langkah strategis menghadirkan banyak pihak terlibat mengelola sumber daya yang dimiliki daerah untuk kemaslahatan bersama.
Konsep GEDSI sendiri adalah akronim dari Gender, Disabilitas dan Inklusi sosial. Pada dasarnya konsep ini merupakan ikhtiar banyak pihak untuk mengakses setiap kebijakan agar menjadi partisipatif dan menciptakan keadilan bagi semua pihak.
Di era keterbukaan seperti sekarang, melibatkan banyak pihak sebagai bagian pembangunan adalah keniscayaan. Pembangunan tanpa pelibatan berbagai pihak-identitas sosial yang ada akan melahirkan ketimpangan dan minim keadilan. Sebab objek pembangunan tidak terdiri dari satu entitas sosial namun beragam.
Pemerintah sebagai entitas sosial tidak bisa abai dengan keberadaan berbagai entitas sosial lainnya yang hidup dalam satu daerah tersebut. Sebagai entitas formal negara, pemerintah dalam setiap kebijakannya harus pro-aktif mengajak semua pihak terlibat menyusun dan melaksanakan perencanaan pembangunan demi tercapainya kepentingan bersama.
GEDSI menjadi frame work konkrit, menghadirkan keadilan bagi semua pihak dalam rangka menciptakan kesetaraan dan kebersamaan menuju kesejahteraan. Spirit kebijakan pembangunan NTB di bawah kepemimpinan Ikbal-Dinda tidak boleh hanya sekedar “pemanis ucapan” dalam sebuah forum. Ia harus tuntas sampai tindakan.
Sambutan wakil gubernur pada pembukaan GEDSI yang diselenggarakan Bappeda NTB memberikan angin segar kebijakan pemerintahan Ikbal-Dinda berbasis Inklusi sosial dan partisipatif. Namun, mudahan bukan sekedar gimick di ruang publik.
Pertanggungjawaban moral tidak hanya pada janji politik tetapi juga lebih mendasar adalah pertanggungjawaban moral terhadap tindakan berbahasa. Berbahasa mungkin tindakan remeh-temeh tapi dari tindakan berbahasa akan lahir pertanggungjawaban moral dan sosial yang mendalam. Sebelum ada tindakan, terlebih dahulu berbahasa telah mengandung moralitas yang harus di wujudkan dengan pembuktian bertindak.
Konsep GEDSI sebagai aktivitas berbahasa tidak boleh menjadi “lipstik politik” kebijakan. Hanya menenangkan publik. Cepat atau lambat konsep itu akan menuntut pertanggungjawaban moralnya kepada pelaku. Mungkin tidak dalam waktu dekat, seiring berjalannya waktu pertanggungjawaban itu akan membatasi dan memberikan vonis.
Napoleon Bonaparte pernah bilang: “Dia yang hanya mempraktikkan kebaikan untuk mendapatkan ketenaran sangat dekat dengan keburukan”.
Artinya jika komunikasi politik yang di tampilkan pejabat publik (wagub) hanya sekedar untuk membangun popularitas menciptakan harapan palsu bagi publik, maka konsekuensinya cepat atau lambat lingkungan sosial akan memberikan sanksi: keburukan.
pelibatan Komunitas
Sebagai konsep pembangunan yang dicanangkan Pemprov NTB lima tahun, GEDSI harus banyak melibatkan objek dan identitas sosial untuk diintervensi. Pada tahap ini pemberdayaan dan keberdayaan komunitas menjadi prioritas.
Berbagai komunitas sosial yang ada adalah potensi kekayaan masyarakat untuk dikelola secara optimal guna menghasilkan kohesi sosial sebagai jaminan keberlangsungan pembangunan sesuai tujuan, visi-misi pemimpin NTB lima tahun ke depan: “kita bangkit bersama, no one left behind.”
Pelibatan multi pihak dalam perencanaan sampai pada tahap pelaksanaan program membuka ruang keadilan dan kesetaraan bagi semua entitas sosial yang ada. Pada akhirnya tujuan GEDSI sebagai konsep pembangunan berkelanjutan akan bermuara pada target RPJMN NTB 2025-2029.
Berdasarkan dokumen RPJMN Pemprov NTB 2025-2029, pemerintahan Ikbal-Dinda menargetkan pembangunan NTB inklusif pada empat isu pokok diantaranya: peningkatan kesetaraan gender serta penguatan peran perempuan, pemuda dan penyandang disabilitas; menyediakan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki, pemuda, anak, dan penyandang disabilitas, lansia, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya; Meningkatkan akses seluruh kelompok terhadap sumberdaya dan mendorong mereka berpartisipasi aktif dan bermakna; dan semua kelompok terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk memperoleh manfaat dari hasil pembangunan.
Semua isu pokok target pembangunan NTB inklusif itu tidak akan beresultante dengan kenyataan di lapangan jika ia hanya gagasan di atas kertas tanpa pembuktian sebagai pertanggungjawaban moral
Moral berbahasa
Dalam teori bahasa aktivitas berbahasa di kenal dengan istilah ‘spech act’ atau tindakan berbahasa. Setiap tindakan berbahasa meniscayakan tiga elemen yaitu kesadaran, bahasa lalu tindakan.
Ketika tiga unsur dari tindakan berbahasa itu tidak sinkron maka aktivitas berbahasa itu tidak lagi dikategorikan sebagai berbahasa tapi sebagai tindakan bunyi-bunyian. Artinya tidak ada bedanya ucapan pemimpin dengan benda mati yg di bunyikan dan tidak memiliki makna.
Pada konteks politik, berbahasa akan memiliki makna dan status yang berbeda ketika yang mengucapkan itu adalah tokoh publik dan politik. Bahasa seorang tokoh publik dan politisi akan dinilai berbeda ketika ucapan yang di sampaikan singkron. Ia akan bertransformasi menjadi integritas dan integritas adalah sikap moral sebagai basis sebuah kebijakan.
Bahasa telah menjadi instrumen powerfull ketika tindakan berbahasa difungsikan sebagaimana kaidahnya. Bayangkan tindakan berbahasa bisa merubah berbagai status sosial manusia ketika tindakan berbahasa bekerja sesuai kaidahnya.
Pada konteks GEDSI sebagai bahasa program RPJMN NTB lima tahun kedepan kepemimpinan Ikbal-Dinda bukan tidak mungkin gagasan, visi-misi, NTB makmur mendunia akan menjadi nyata.
Menutup catatan ini, gagasan GEDSI gubernur NTB harus menjadi pertanggungjawaban moral pembangunan NTB lima tahun sebagai konsekuensi moral tindakan berbahasa. Dan bahasa adalah keajaiban.
Ditulis oleh:
Amir Mahmud
Peneliti pada lembaga riset, Lombok Research Center